Dulu, Facebook adalah tempat berkumpul. Bukan dalam arti fisik, tetapi secara emosional dan sosial. Di antara linimasa-linimasa itu, orang-orang saling menyapa, bertukar cerita, membagikan potongan hidup mereka, dan mengomentari satu sama lain dengan akrab. Ketika kamu - sebagai contoh - terakhir aktif pada pertengahan 2013, Facebook masih menjadi ruang yang cukup “personal.” Orang-orang menulis status, mengunggah foto-foto keluarga, atau membagikan pemikiran tentang kehidupan sehari-hari. Ada semacam ilusi bahwa semua orang bisa mendengar dan melihat satu sama lain, dan bahwa kita membangun sesuatu yang lebih besar, yaitu; komunitas global.
Namun, sekitar satu dekade kemudian, wajah itu telah berubah drastis. Facebook, dan media sosial pada umumnya, kini lebih menyerupai panggung hiburan tak berujung. Bukan lagi tentang “kita” tetapi tentang “apa yang sedang viral” Dinding (feed) tak lagi dipenuhi suara teman-teman, melainkan potongan video pendek yang sebagian besar tampak artifisial: prank yang dibuat-buat, tantangan konyol, akting murahan, atau komedi ringan yang ditujukan untuk satu hal saja, menarik perhatian sebanyak mungkin, secepat mungkin.
Apakah ini pertanda bahwa media sosial telah kehilangan tujuannya? Mungkin jawabannya bukan sekadar “ya” atau “tidak,” tetapi tentang evolusi, atau mungkin mutasi yang dialami oleh teknologi sosial kita.
Dari Jaringan Sosial ke Mesin Atensi
Media sosial awalnya diciptakan untuk satu tujuan: menghubungkan orang-orang. Mark Zuckerberg merancang Facebook sebagai sebuah buku wajah digital yang membantu mahasiswa saling mengenal. Twitter dimulai sebagai layanan mikroblogging sederhana. Instagram sebagai album foto pribadi. Namun seiring waktu, tujuan “menghubungkan” itu digeser oleh satu kekuatan besar yang tak bisa dihindari yaitu, Attention Economy.
Dalam ekonomi ini, perhatian pengguna adalah komoditas. Semakin lama seseorang bertahan di sebuah platform, semakin besar peluang platform tersebut mendapatkan uang dari iklan. Maka muncul algoritma; mekanisme tersembunyi yang menentukan konten seperti apa yang akan kamu lihat. Dan algoritma ini bekerja dengan prinsip sederhana: sajikan konten yang membuat pengguna tidak bisa berhenti menggulir layar (Scrolling).
Sayangnya, konten yang paling berhasil membuat kita tergila-gila bukanlah konten yang paling bermakna, tetapi yang paling memancing reaksi instan: kekonyolan, kemarahan, sensasi, dan humor receh. Interaksi sosial yang dahulu menjadi inti, perlahan-lahan didorong ke pinggir oleh konten yang mudah dicerna dan cepat dilupakan.
Facebook: Simbol Paradoks Media Sosial
Facebook adalah contoh paling mencolok dari pergeseran ini. Dari tempat berbagi status dan foto keluarga, ia menjelma menjadi lautan video viral, berita sensasional, dan iklan bertarget. Banyak pengguna lama mengeluhkan bahwa mereka nyaris tidak melihat unggahan dari teman-teman mereka sendiri. Bahkan jika mereka aktif, postingan pribadi tampak terkubur oleh konten "rekomendasi" dari luar lingkaran sosial.
Bagi banyak orang, termasuk mereka yang seperti kamu, yang sudah menutup akun sejak 2015, Facebook sudah tak lagi relevan. Bukan karena ia mati, tetapi karena ia berubah terlalu jauh dari bentuk aslinya. Sekarang, ia lebih menyerupai YouTube mini yang dikawinkan dengan marketplace dan forum berita.
Namun, apakah ini berarti media sosial secara keseluruhan akan punah? Tidak juga. Yang lebih mungkin terjadi adalah transformasi bentuk dan fungsi.
Evolusi, Bukan Kematian
Media sosial tidak akan mati, setidaknya tidak dalam waktu dekat. Tetapi bentuknya akan terus berubah, menyesuaikan diri dengan pola konsumsi digital manusia yang juga terus berubah. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat:
- Perpindahan dari teks ke visual; Orang lebih tertarik melihat daripada membaca. Itulah mengapa TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts begitu mendominasi.
- Perpindahan dari koneksi ke konten; Interaksi sosial tidak lagi menjadi pusat. Yang utama sekarang adalah konsumsi, melihat, menyukai, membagikan. Hubungan antarmanusia menjadi fungsi sekunder.
- Perpindahan dari ruang pribadi ke algoritma publik; Semakin sedikit kendali yang kita miliki atas apa yang kita lihat. Algoritma-lah yang memilih untuk kita, berdasarkan data dan prediksi kebiasaan.
Media sosial akan terus berevolusi menjadi platform hybrid: sebagian jejaring sosial, sebagian mesin pencari, sebagian pasar digital, dan sebagian panggung hiburan. Dalam proses ini, kemungkinan besar media sosial akan kehilangan ciri-ciri personal yang dulu membuatnya istimewa.
Tantangan Etis dan Psikologis
Perubahan ini membawa dampak luas. Kita menghadapi banjir konten yang sulit dikurasi secara pribadi. Anak-anak tumbuh dengan algoritma yang lebih tahu tentang preferensi mereka ketimbang orang tua mereka sendiri. Identitas online menjadi sesuatu yang ditentukan oleh seberapa “menarik” kamu di mata sistem, bukan seberapa jujur atau otentik kamu mengekspresikan diri.
Selain itu, perhatian kita juga terus terkikis. Dengan konten berdurasi 30 detik atau kurang, otak kita dibentuk ulang untuk mencari rangsangan cepat. Ini bukan hanya mengubah cara kita berinteraksi di media sosial, tapi juga cara kita berpikir, belajar, dan berkomunikasi di dunia nyata.
Bagaimana Masa Depan?
Dalam sepuluh tahun ke depan, kita mungkin akan melihat kebangkitan kembali platform “sosial” yang lebih terfokus pada komunitas kecil dan interaksi yang lebih manusiawi, mirip dengan model awal Facebook. Kita juga bisa melihat lebih banyak platform yang menawarkan kontrol algoritma kepada pengguna, memberi mereka kebebasan memilih jenis konten yang ingin mereka lihat.
Ada pula tren ke arah desentralisasi, seperti platform berbasis blockchain atau federated network (seperti Mastodon) yang memungkinkan pengguna membentuk jaringan sosial mereka sendiri tanpa campur tangan korporasi besar.
Namun perubahan besar seperti itu membutuhkan kesadaran publik yang tinggi, sesuatu yang masih dalam proses tumbuh. Sementara itu, media sosial seperti Facebook akan terus beroperasi sebagai hiburan masif dan mesin data raksasa, menyesuaikan diri dengan perilaku pengguna yang semakin pasif dan konsumtif.
Kesimpulan: Saatnya Meninjau Kembali
Tanya-Jawab antara Saya dan OpenAI ajukan bukan hanya soal Facebook, tetapi tentang bagaimana kita berinteraksi secara digital. Media sosial tidak sepenuhnya mati, tetapi yang mati adalah makna asli dari kata “sosial” dalam konteks digital. Apa yang dulunya tentang kita, kini menjadi tentang apa yang bisa dijual dari kita.
Jika kamu merasa bahwa pengalaman menggunakan media sosial sudah tidak lagi manusiawi, itu bukan perasaan yang salah. Itu justru sinyal bahwa kita perlu meninjau kembali tujuan dan cara kita menggunakan teknologi ini. Mungkin, seperti yang kamu lakukan dengan menutup akun di tahun 2015, langkah mundur kadang diperlukan agar kita bisa melihat gambaran besar: bahwa dalam lautan kebisingan digital ini, suara manusia sejati kadang justru terdengar paling sunyi.