Ketika berbicara tentang mobil listrik, banyak orang langsung teringat pada isu lingkungan, polusi udara, dan masa depan energi bersih. Namun, di balik semua itu, terdapat satu aspek mendasar yang membuat kendaraan listrik begitu menarik dari kacamata sains: efisiensi energi. Jika mobil berbahan bakar bensin atau diesel selama lebih dari seratus tahun dianggap sebagai standar transportasi, maka mobil listrik hadir dengan janji efisiensi hingga tiga kali lipat lebih baik. Untuk memahami alasan di balik klaim tersebut, kita perlu menelusuri fisika sederhana yang terjadi pada sistem penggerak kedua jenis kendaraan ini.
Pada mobil konvensional berbahan bakar fosil, energi berasal dari proses pembakaran di dalam mesin. Bensin atau solar yang dibakar menghasilkan energi panas yang kemudian diubah menjadi energi mekanik. Namun, proses ini tidaklah sempurna. Hanya sekitar 25–30 persen energi kimia dari bahan bakar yang akhirnya digunakan untuk menggerakkan roda. Sisanya hilang sebagai panas di knalpot, gesekan dalam mesin, dan kerja tambahan seperti pendinginan. Dengan kata lain, sebagian besar energi dari setiap liter bensin terbuang begitu saja sebelum benar-benar bisa dimanfaatkan.
Mobil listrik bekerja dengan cara yang sangat berbeda. Di dalamnya tidak ada ruang bakar atau ledakan kecil yang terus-menerus terjadi. Sebagai gantinya, energi disimpan dalam baterai, biasanya berbasis lithium-ion, lalu dialirkan ke motor listrik. Motor listrik inilah yang mengubah energi listrik menjadi energi mekanik untuk memutar roda. Perbedaan paling mencolok adalah efisiensinya: motor listrik mampu mengubah sekitar 85–90 persen energi listrik yang masuk menjadi tenaga gerak. Dengan angka ini, jelas terlihat mengapa mobil listrik bisa dikatakan tiga kali lebih efisien dibandingkan mesin pembakaran dalam.
Kunci utama dari efisiensi tersebut terletak pada teknologi baterai lithium-ion. Baterai jenis ini memiliki kepadatan energi yang tinggi, artinya ia mampu menyimpan energi lebih banyak dalam ukuran yang relatif kecil. Selain itu, baterai dapat diisi ulang berulang kali tanpa kehilangan kapasitas secara drastis. Proses pengisian dan pelepasan energi pada baterai terjadi melalui reaksi kimia yang memungkinkan elektron bergerak dari satu elektroda ke elektroda lain. Perpindahan elektron inilah yang menjadi dasar energi listrik untuk kemudian disalurkan ke motor. Dari sisi fisika, hampir tidak ada energi yang terbuang dalam bentuk panas berlebih seperti pada mesin pembakaran, sehingga efisiensi sistem dapat dipertahankan.
Selain motor listrik dan baterai, ada satu fitur menarik yang semakin menegaskan keunggulan kendaraan listrik: regenerative braking. Dalam mobil konvensional, ketika pengemudi menginjak rem, energi kinetik kendaraan diubah menjadi panas melalui gesekan pada sistem rem. Energi ini hilang begitu saja. Tetapi pada mobil listrik, rem tidak hanya berfungsi menghentikan laju kendaraan, melainkan juga bekerja sebagai generator. Saat roda berputar melawan medan magnet di dalam motor listrik, sebagian energi kinetik diubah kembali menjadi energi listrik dan disimpan ke dalam baterai. Prinsip ini membuat mobil listrik seakan mampu “memanen” sebagian energi yang biasanya terbuang, terutama saat sering melambat atau berhenti di lalu lintas perkotaan.
Jika kita lihat dari kacamata energi, maka perjalanan dengan mobil listrik jelas lebih hemat. Misalnya, untuk menempuh jarak tertentu, sebuah mobil bensin mungkin memerlukan energi setara dengan 8 liter bensin. Dari jumlah itu, hanya sekitar 2 liter yang benar-benar digunakan untuk memutar roda, sementara sisanya hilang sebagai panas. Sebaliknya, mobil listrik untuk menempuh jarak yang sama bisa menggunakan energi listrik setara dengan 3 liter bensin, dan hampir seluruhnya dimanfaatkan untuk gerakan. Perbandingan sederhana ini memberi gambaran jelas mengapa mobil listrik jauh lebih unggul dalam soal efisiensi.
Namun, bukan berarti teknologi mobil listrik tanpa tantangan. Salah satu isu yang sering dibicarakan adalah proses produksi baterai lithium-ion, yang membutuhkan material seperti litium, kobalt, dan nikel. Penambangan dan pemrosesan material ini masih menimbulkan dampak lingkungan tersendiri. Akan tetapi, dari sudut pandang konsumsi energi sehari-hari, kendaraan listrik tetap memberikan keuntungan besar. Setelah berada di jalan, mobil listrik tidak menghasilkan emisi langsung dan jauh lebih hemat energi. Bahkan jika listrik yang digunakan untuk mengisi baterai masih sebagian besar berasal dari pembangkit berbasis fosil, efisiensinya tetap lebih tinggi dibandingkan mobil berbahan bakar minyak.
Bagi mahasiswa atau siapa pun yang ingin memahami fenomena ini lebih dalam, fisika di balik mobil listrik adalah contoh nyata bagaimana prinsip dasar energi dan mekanika diterapkan dalam kehidupan modern. Konversi energi, hukum kekekalan energi, dan perbedaan efisiensi sistem menjadi topik yang bisa dipelajari sekaligus diamati langsung. Mobil listrik bukan hanya soal tren atau gaya hidup ramah lingkungan, melainkan juga bukti nyata bagaimana sains mampu menghadirkan solusi teknologi yang lebih baik.
Jika kita membayangkan masa depan transportasi, tidak sulit melihat mengapa mobil listrik kian populer. Dengan efisiensi tiga kali lipat, perawatan yang lebih sederhana karena lebih sedikit komponen bergerak, serta teknologi yang terus berkembang, kendaraan listrik menawarkan jalan menuju sistem transportasi yang lebih hemat energi dan lebih bersih. Fisika sederhana yang menggerakkan roda mobil listrik ini sebenarnya memberi pelajaran berharga: bahwa memahami cara energi bekerja dapat membantu manusia menciptakan inovasi yang benar-benar mengubah dunia.