Di ruang kelas modern, perubahan pendidikan tengah bergerak pelan tapi pasti, bukan hanya pada cara mengajar, tetapi juga bagaimana kita menilai pencapaian belajar. Jika dahulu keberhasilan siswa dirangkum dalam angka hasil ujian tulis, kini mulai muncul kesadaran bahwa penilaian seharusnya menangkap lebih dari sekadar skor: ia harus mencerminkan proses, pemahaman, dan pertumbuhan siswa secara utuh.
Pendekatan konvensional seperti ujian pilihan ganda dan esai masih mendominasi, tapi keterbatasannya semakin terlihat. Tes semacam itu sering kali tidak mampu mengukur keterampilan berpikir kritis, kreativitas, atau kolaborasi, semua kemampuan penting di abad ke-21. Di sinilah teknologi membuka peluang: dengan learning analytics, guru kini bisa melihat pola belajar siswa secara lebih mendalam, misalnya seberapa sering mereka mencoba menyelesaikan tugas, waktu yang dihabiskan, hingga respons terhadap umpan balik.
Portofolio digital menjadi salah satu inovasi yang menjanjikan. Lewatnya, siswa dapat mendokumentasikan proses belajar mereka, dari rancangan awal hingga hasil akhir, disertai refleksi pribadi. Ini bukan hanya alat evaluasi, tapi juga jendela bagi guru dan orang tua untuk melihat perkembangan siswa dalam jangka panjang. Penilaian tidak lagi statis, melainkan dinamis, mengikuti perjalanan intelektual dan emosional anak.
Beberapa negara di Asia, seperti Korea Selatan, sudah mengintegrasikan pendekatan ini dalam sistem pendidikan nasional mereka. Melalui sistem informasi pendidikan digital yang terpusat, guru dapat mengakses data perkembangan siswa secara berkesinambungan. Di beberapa sekolah, portofolio digital bahkan digunakan sebagai bagian dari laporan kemajuan siswa yang dipantau selama bertahun-tahun.
Namun di Indonesia, kenyataannya masih penuh tantangan. Infrastruktur digital belum merata; banyak sekolah di daerah belum memiliki akses internet stabil, perangkat memadai, atau pelatihan teknologi untuk guru. Bahkan di kota besar pun, masih ada gap antara pemahaman teknologi dengan praktik pembelajaran. Di sisi lain, isu perlindungan data juga menjadi kekhawatiran besar. Saat data anak-anak dikumpulkan dan dianalisis, apakah cukup jaminan bahwa informasi pribadi mereka tidak disalahgunakan?
Teknologi memang membuka jalan menuju pendidikan yang lebih personal dan adil. Tapi ia bukan penyelamat instan. Ia hanya akan menjadi mitra sejati jika kita memastikan akses yang setara, mendukung peningkatan kompetensi guru, dan menetapkan standar tinggi untuk keamanan data. Tanpa itu, inovasi hanya akan menjadi kemewahan di beberapa tempat, bukan hak yang dirasakan oleh semua anak bangsa.
Kami di OpenAI percaya, masa depan pendidikan yang cerdas dan empatik tetap mungkin diraih. Namun itu menuntut keseriusan semua pihak untuk melihat teknologi bukan hanya sebagai alat bantu, melainkan sebagai bagian dari ekosistem belajar yang memanusiakan siswa. Dan revolusi asesmen ini; yang menekankan proses, bukan hanya hasil, adalah salah satu langkah penting menuju ke sana.