Dalam lanskap dunia kerja modern yang terus berubah dengan cepat, muncul sebuah istilah yang dengan cepat menjadi perbincangan, terutama di kalangan profesional muda: "Quiet Quitting". Istilah ini, yang sempat viral di berbagai platform media sosial, bukanlah berarti mengundurkan diri secara harfiah. Sebaliknya, ia mendeskripsikan sebuah sikap di mana seorang karyawan memutuskan untuk bekerja tepat sesuai dengan apa yang tertera dalam deskripsi pekerjaan mereka, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka hanya melakukan tugas minimum, menolak untuk mengambil inisiatif ekstra, menghindari lembur, dan menjaga batas ketat antara kehidupan pribadi dan profesional. Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar: Apakah quiet quitting merupakan mekanisme penentuan batas diri (boundary setting) yang sehat di tengah budaya kerja yang berlebihan, atau justru menjadi sinyal merah adanya ketidakpuasan mendalam terhadap lingkungan kerja korporat modern?
Untuk sebagian orang, quiet quitting adalah sebuah bentuk pertahanan diri yang lahir sebagai respons terhadap hustle culture yang toksik. Budaya kerja yang gencar menuntut dedikasi tanpa batas, seringkali tanpa kompensasi atau pengakuan yang setimpal, telah lama menjadi pemicu utama kelelahan (burnout) dan masalah kesehatan mental. Karyawan merasa bahwa upaya ekstra yang mereka curahkan, seperti bekerja lembur hingga larut malam atau merespons pesan kerja di luar jam kantor, hanya memperkaya perusahaan tanpa memberikan imbalan yang layak bagi kesejahteraan diri mereka. Dalam konteks ini, quiet quitting menjadi simbol dari kesadaran baru akan pentingnya work-life balance. Pekerja, terutama dari generasi muda, kini lebih memprioritaskan kesehatan mental, kesejahteraan, dan waktu pribadi di atas ambisi karier yang menuntut pengorbanan tanpa henti. Mereka menyadari bahwa batasan yang tegas adalah kunci untuk menghindari kecemasan, depresi, dan kelelahan, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Mereka yang memandang quiet quitting secara positif berpendapat bahwa ini adalah sebuah langkah menuju profesionalisme yang bertanggung jawab. Pekerja berfokus pada efektivitas selama jam kerja yang sudah ditetapkan, menyelesaikan tugas sesuai kontrak, dan memanfaatkan waktu di luar pekerjaan untuk pemulihan dan aktivitas yang menyenangkan. Tindakan ini merupakan penolakan terhadap eksploitasi kerja yang terselubung, di mana loyalitas disalahartikan sebagai kesediaan untuk bekerja di luar tanggung jawab tanpa kompensasi yang adil. Dengan membatasi diri, karyawan mampu mengoptimalkan produktivitas mereka dalam porsi yang jelas, karena mereka tidak terbebani oleh tugas-tugas tambahan yang seharusnya bukan tanggung jawabnya.
Namun, di balik narasi tentang penentuan batas diri, terdapat sisi lain dari quiet quitting yang menunjukkan adanya masalah struktural yang lebih dalam. Dari perspektif organisasi, fenomena ini seringkali dipandang sebagai manifestasi dari rendahnya employee engagement atau penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan. Karyawan yang terlibat dalam quiet quitting mungkin hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi secara mental dan emosional mereka telah menjauh. Mereka menunjukkan hilangnya minat untuk berinovasi, berkontribusi pada tujuan jangka panjang organisasi, atau bahkan pasif dalam diskusi dan rapat tim.
Gejala-gejala ini bukan sekadar kemalasan, melainkan indikasi kuat adanya ketidakpuasan mendalam yang tidak tersalurkan. Penyebabnya beragam, mulai dari kurangnya apresiasi atau pengakuan, upah yang tidak sesuai dengan beban kerja, lingkungan kerja yang toxic, kegagalan mendapatkan promosi yang dijanjikan, hingga manajemen yang dianggap tidak suportif terhadap kebutuhan psikologis karyawan. Dalam banyak kasus, quiet quitting adalah perilaku yang dimediasi oleh stres kerja dan burnout yang parah. Ketika pekerja menghadapi tuntutan yang tinggi tanpa dukungan dan sumber daya yang memadai, mereka secara naluriah menarik diri untuk melindungi diri. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa semakin tinggi tingkat burnout yang dialami karyawan, semakin besar kemungkinan mereka melakukan quiet quitting sebagai cara untuk bertahan tanpa harus mengambil risiko pengunduran diri formal di tengah ketidakpastian ekonomi.
Pada akhirnya, quiet quitting menyajikan sebuah dilema bagi semua pihak. Jika dipandang hanya sebagai penentuan batas diri, ia membawa dampak positif bagi kesehatan mental individu. Namun, jika ini adalah refleksi dari krisis makna dan kegagalan organisasi dalam menciptakan lingkungan kerja yang suportif, maka dampaknya bisa merugikan. Bagi perusahaan, ini dapat menyebabkan penurunan inovasi, kolaborasi yang lemah, dan potensi tingginya turnover talenta muda. Bagi pekerja, meskipun ada ketenangan sementara, bekerja "seadanya" dalam jangka panjang dapat menimbulkan perasaan bosan, menurunnya kepuasan kerja, dan menghambat peluang pengembangan karier.
Oleh karena itu, fenomena quiet quitting harus dipahami sebagai cermin yang memantulkan ketidakseimbangan antara tuntutan korporat dan kebutuhan manusiawi. Ini adalah seruan bagi perusahaan untuk mereformasi budaya kerja mereka, bukan hanya dengan memberi label "baik" pada work-life balance, tetapi dengan tindakan nyata: memberikan kompensasi yang adil, memberikan pengakuan yang tulus, dan menyediakan dukungan psikologis yang memadai. Sementara itu, bagi pekerja, penting untuk memastikan bahwa penentuan batas diri tidak berubah menjadi penarikan diri total yang justru menghambat pertumbuhan dan kebahagiaan profesional mereka. Mengkomunikasikan batasan secara terbuka dan mencari solusi kolaboratif dengan atasan mungkin menjadi jembatan yang lebih sehat antara dedikasi dan kesejahteraan diri.
