Di tengah hingar-bingar kota, telah lama bersemayam sebuah narasi baru tentang pekerjaan: bukan lagi kemeja formal di gedung tinggi korporat, melainkan hoodie kasual di kantor berdesain industrial, dengan meja foosball di sudut dan kopi tanpa batas. Inilah utopia yang dijanjikan oleh industri kreatif dan dunia startup, sebuah magnet bagi generasi urban, terutama para mahasiswa dan lulusan baru yang mendamba fleksibilitas, lingkungan kerja modern, dan kesempatan untuk berkontribusi secara nyata. Namun, di balik dinding kaca yang transparan dan branding yang memikat, semakin banyak suara yang merintih tentang realitas yang sangat kontras: mereka merasa gaji tidak sesuai (underpaid) dan bekerja melampaui batas (overworked).
Fenomena ini sejatinya adalah manifestasi dari kesenjangan ekspektasi dan realitas yang terstruktur, sebuah jebakan psikologis yang secara halus mengeksploitasi semangat muda dan passion yang menggebu-gebu. Pekerjaan di bidang content creator, digital marketing, graphic designer, hingga pengembang aplikasi sering dipromosikan sebagai jalur untuk "menemukan diri" dan bekerja dengan "hati." Janji imbalan emosional dan kepuasan batin, portofolio mengesankan, dan label "anak muda keren", seringkali diletakkan di atas imbalan finansial yang seharusnya menjadi hak dasar.
Pesona "Flexploitation" dan Jam Kerja yang Kabur
Salah satu daya tarik terbesar, dan sekaligus musuh tersembunyi, dari budaya kerja startup dan industri kreatif adalah konsep fleksibilitas. Di atas kertas, jam kerja fleksibel dan kesempatan remote working terdengar seperti hak istimewa yang diidam-idamkan. Namun, dalam praktiknya, sistem ini seringkali bermetamorfosis menjadi flexploitation. Fleksibilitas ini secara efektif menghapus batas yang jelas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Ketika jam kerja tidak lagi terpatok dari jam 9 pagi hingga 5 sore, pekerjaan dapat menyusup ke setiap celah waktu luang: email dibalas tengah malam, revisi mendadak dilakukan di akhir pekan, dan rapat online diselenggarakan saat hari libur. Pekerja muda, yang didorong oleh etos kerja "siap sedia 24/7" dan ketakutan akan kehilangan pekerjaan di tengah persaingan ketat, merasa terpaksa untuk selalu tersambung dan responsif. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu jauh di atas batas wajar 40 jam per minggu, bahkan seringkali tanpa kompensasi lembur yang memadai, sebagaimana temuan dari berbagai survei serikat pekerja. Konsep work-life balance yang diagung-agungkan pun hanya menjadi gimmick di brosur rekrutmen.
Devaluasi Kreativitas dan Skala Prioritas Bisnis
Di sisi lain, isu gaji yang rendah (underpaid) berakar pada beberapa faktor. Pertama, di industri kreatif, nilai dari karya atau jasa kreatif seringkali direndahkan. Klien atau perusahaan sering beranggapan bahwa ide kreatif, tulisan, atau desain adalah hal yang "mudah" dan "menyenangkan" untuk dilakukan, sehingga tidak layak dihargai mahal. Narasi "mengerjakan passion" menjadi pembenaran bagi perusahaan untuk menawarkan gaji yang tidak sepadan dengan beban kerja, keahlian, dan biaya hidup di perkotaan.
Kedua, di dunia startup, fokus utama di fase awal sering kali adalah pertumbuhan cepat (growth) dan pembakaran modal (burn rate) untuk mengakuisisi pasar, bukan pada optimalisasi gaji karyawan. Mereka beroperasi di bawah ketidakpastian pasar yang tinggi, dan efisiensi biaya seringkali dibebankan pada pos kompensasi karyawan. Pekerja diminta untuk menerima gaji yang minim dengan janji "peluang belajar yang tak ternilai" atau "saham perusahaan" yang nilainya masih spekulatif. Ketika perusahaan akhirnya mencapai skala besar, terkadang budaya kerja dan struktur gaji yang rendah sudah terlanjur mendarah daging.
Minimnya Apresiasi dan Kejelasan Karir
Tidak hanya soal gaji dan jam kerja, generasi urban juga menuntut apresiasi dan pengakuan yang lebih dari sekadar materi. Mereka ingin kontribusi mereka diakui secara holistik. Namun, budaya startup yang cenderung datar dan minim struktur justru menciptakan masalah baru.
Di perusahaan kecil, pekerja sering dituntut untuk multitasking, seorang copywriter bisa merangkap tugas social media strategist, desainer, bahkan kurir. Tuntutan untuk "serba bisa" ini, meski menambah pengalaman, juga mengaburkan deskripsi pekerjaan dan menggandakan beban kerja tanpa penyesuaian gaji yang setara. Selain itu, jenjang karir di banyak startup kecil seringkali tidak jelas, atau bahkan tidak ada. Ketiadaan struktur kenaikan pangkat dan gaji yang pasti membuat para pekerja muda merasa cemas dan stagnan, seolah kreativitas mereka hanya dihargai sebatas hasil yang instan, bukan sebagai investasi jangka panjang.
Bagi para mahasiswa dan calon pekerja muda, penting untuk menyadari bahwa keindahan pantry yang instagrammable dan titel pekerjaan yang modern hanyalah kulit luar. Kesehatan mental, waktu istirahat yang cukup, dan kompensasi finansial yang layak bukanlah privileges, melainkan hak-hak dasar yang harus diperjuangkan, terlepas dari seberapa "keren" label pekerjaan tersebut. Kritis terhadap janji-janji manis dan berani menuntut kejelasan adalah langkah pertama untuk keluar dari lingkaran setan underpaid dan overworked di era kerja modern.
