Jika kita bicara tentang kemampuan warga Indonesia dalam berbahasa Inggris, jawabannya bisa beragam. Ada yang sangat mahir hingga bisa berdebat atau menulis jurnal akademik dalam bahasa Inggris, tetapi ada juga yang hanya bisa mengucapkan kata-kata dasar seperti "yes," "no," atau "thank you." Namun, secara umum, berdasarkan berbagai survei global, kemampuan berbahasa Inggris warga Indonesia masih berada di level menengah atau bahkan di bawah beberapa negara Asia lainnya seperti Filipina, Malaysia, dan Singapura.
Salah satu faktor penyebabnya adalah bagaimana bahasa Inggris diajarkan di sekolah. Banyak siswa belajar bahasa Inggris secara teoritis, tetapi kurang mendapatkan kesempatan untuk berlatih berbicara dan mendengarkan secara aktif. Akibatnya, banyak orang yang bisa memahami teks dalam bahasa Inggris, tetapi kesulitan ketika harus menggunakannya dalam percakapan sehari-hari.
Di era digital seperti sekarang, banyak aplikasi penerjemah yang membantu orang memahami bahasa asing, termasuk bahasa Inggris. Dua di antaranya yang paling populer adalah Google Translate dan DeepL. Namun, apakah aplikasi ini membantu meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris atau justru membuat orang menjadi terlalu bergantung pada terjemahan otomatis? Mari kita bahas lebih lanjut.
Google Translate vs. DeepL: Mana yang Lebih Baik?
Google Translate sudah lama menjadi andalan banyak orang dalam menerjemahkan berbagai bahasa. Dengan teknologi berbasis AI dan dukungan untuk lebih dari 100 bahasa, Google Translate sangat mudah digunakan dan dapat memberikan terjemahan dalam hitungan detik. Namun, ada satu kelemahan yang sering dikeluhkan, yaitu ketepatan terjemahannya yang kadang terasa kaku atau kurang natural. Hal ini karena Google Translate lebih fokus pada pengolahan kata per kata atau frase tanpa terlalu banyak memperhatikan konteks kalimat secara keseluruhan.
Di sisi lain, ada DeepL, aplikasi penerjemah yang semakin populer karena kualitas terjemahannya yang lebih alami. DeepL menggunakan teknologi jaringan saraf buatan (neural networks) yang diklaim mampu memahami konteks dengan lebih baik dibandingkan Google Translate. Hasil terjemahannya sering kali lebih halus dan terdengar seperti ditulis oleh seorang penutur asli.
Lalu, mana yang lebih baik? Jawabannya tergantung pada kebutuhan. Jika ingin terjemahan cepat dengan cakupan bahasa yang luas, Google Translate bisa menjadi pilihan. Tetapi jika ingin hasil yang lebih presisi dan natural dalam bahasa Inggris, DeepL mungkin lebih unggul.
Pengaruh Aplikasi Penerjemah terhadap Kemampuan Berbahasa Inggris
Sekarang pertanyaannya, apakah kehadiran aplikasi seperti Google Translate dan DeepL membantu meningkatkan kemampuan bahasa Inggris warga Indonesia? Atau justru sebaliknya, membuat orang menjadi malas belajar dan hanya mengandalkan teknologi?
Jawabannya bisa dua arah. Bagi mereka yang benar-benar ingin belajar, aplikasi ini bisa menjadi alat bantu yang sangat berguna. Misalnya, ketika membaca artikel dalam bahasa Inggris, seseorang bisa menggunakan DeepL untuk memahami maknanya, lalu mencoba meniru struktur kalimatnya. Begitu juga dengan Google Translate, yang bisa membantu memahami kata-kata asing dalam percakapan sehari-hari.
Namun, ada juga risiko ketergantungan. Jika seseorang hanya mengandalkan aplikasi penerjemah tanpa pernah mencoba berlatih sendiri, maka kemampuan bahasa Inggrisnya bisa stagnan atau bahkan menurun. Salah satu tantangan terbesar dalam belajar bahasa adalah kepercayaan diri dalam berbicara. Jika seseorang terus menerjemahkan setiap kata tanpa mencoba berpikir langsung dalam bahasa Inggris, maka perkembangan bahasanya akan terhambat.
Pada akhirnya, kemampuan warga Indonesia dalam berbahasa Inggris masih cukup beragam dan perlu ditingkatkan, terutama dalam aspek berbicara dan mendengarkan. Aplikasi seperti Google Translate dan DeepL memang bisa membantu, tetapi harus digunakan dengan bijak agar tidak membuat seseorang terlalu bergantung. Cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris tetaplah dengan latihan aktif—mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis secara langsung tanpa selalu bergantung pada penerjemah otomatis. Teknologi adalah alat bantu, bukan pengganti proses belajar yang sesungguhnya.
